Pages

SELAMAT DATANG DI BLOG TENTANG APA YANG SAYA PIKIRKAN DAN APA YANG SAYA DENGARKAN

Minggu, 27 September 2009

PENYELAMATAN KEKAYAAN NEGARA MELALUI PENERAPAN AZAS PEMBUKTIAN TERBALIK TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI (Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001)

Oleh:
Wayan Arya Paramarta

A. Pendahuluan
KUHP sebagai kodifikasi Hukum Pidana positif di Indonesia memuat berbagai jenis tindak pidana, baik yang berupa kejahatan maupun pelanggaran. Di samping tindak pidana yang tercantum di dalam KUHP, ada beberapa tindak pidana yang pengaturannya dilakukan di luar KUHP atau yang biasa disebut sebagai tindak pidana khusus. Tindak pidana ini adalah tindak pidana yang dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah karena belum terdapat tindak pidana yang dimaksud dalam KUHP .



Salah satu tindak pidana yang diatur di luar KUHP atau tindak pidana khusus ini yaitu tindak pidana korupsi yang diatur dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tersebut selain diatur mengenai hukum pidana materiil (seperti perumusan tindak pidana korupsi dan jenis-jenis hukumannya), juga diatur mengenai hukum pidana formilnya (seperti pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi di muka pengadilan).

Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal ini disebabkan karena:

  1. Persoalannya memang rumit.
  2. Sulitnya menemukan bukti.
  3. Adanya kekuatan yang justru menghalangi pembersihan itu.

Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum.

B. Pembahasan
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis dari berbagai jenis tindak pidana. Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, seperti juga upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya dapat meliputi upaya penal. Upaya penal atau melalui sarana Hukum Pidana operasionalnya melalui beberapa tahap, yaitu :
  1. Formulasi, atau perumusan hukum pidana yang merupakan kebijakan legislatif.
  2. Aplikasi, atau penerapan hukum pidana yang merupakan kebijakan yudikatif.
  3. Eksekusi, atau pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kebijakan eksekutif atau administratif.

Penanggulangan tindak pidana korupsi melalui upaya penal di Indonesia sudah dimulai sejak dikeluarkannya Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 beserta peraturan pelaksanannya dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April 1958. Peraturan tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 jo. Undang-Undang No. 1 Tahun 1961, atau yang dikenal dengan Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi.

Pada masa kabinet Ampera, sarana UU No. 24 Prp. Tahun 1960 diperlengkapi dengan Keputusan Presiden No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 yang memberikan tambahan kekuatan hukum yang represif dan efisien untuk pemberantasan korupsi agar mampu mempercepat prosedur penyelesaian perkara dan mempermudah penuntutan perkara korupsi yang dilakukan oleh orang sipil dan atau orang dari kalangan ABRI.
Peraturan-peraturan tersebut digantikan lagi dengan UU No. 3 Tahun 1971 dan terakhir diperbaiki dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi dapat dipertaruhkan. Untuk inilah maka Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil berbeda dengan Hukum Acara Perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil. Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan/atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadian masa lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana .

Sedangkan mengenai kewajiban pembuktian, atau siapa yang harus membuktikan, menurut KUHAP adalah dibebankan kepada Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP: “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Menurut penjelasan Pasal 66 tersebut, ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas “praduga tak bersalah”, di mana mengenai asas tersebut diatur dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Penerapan asas pembuktian terbalik dalam suatu perkara pidana jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah ini. Dalam asas pembuktian terbalik hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu pelanggaran hukum atau presumption of guilt. Kemudian terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, dan jika dia tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak Penuntut Umum. Bila tersangka atau terdakwa ditahan maka hampir mustahil hal itu bisa dilakukan. Meskipun asas pembuktian terbalik mengandung banyak kelemahan, hal ini bukan berarti asas pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan. Penerapan sistem pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi ini sudah dianut di Hongkong, Malaysia, dan Singapura.

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 pada Pasal 12 B Ayat 1 pembuktian terbalik tersebut bersifat murni, di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, jika ia tidak berhasil membuktikan maka berarti ia terbukti melakukan korupsi. Sistem ini digunakan terhadap setiap pemberian kepada pegawai negeri (dalam arti luas) yang nilainya di atas Rp. 10 juta, sedangkan yang nilainya di bawah Rp. 10 juta masih menggunakan sistem pembuktian biasa.

Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara.

Meskipun demikian, untuk dapat menerapkan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi perlu dikaji terlebih dahulu, dikarenakan dalam hal ini terdapat beberapa masalah, yaitu :
Pertama, bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya.
Kedua, apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (pembuktan terbalik), mulai dari pengacaranya, hakimnya, jaksa penuntut umumnya.
Ketiga, jangan sampai pembuktian terbalik ini justru menjadi alat pemerasan baru, di mana semua orang dapat saja disudutkan melakukan korupsi. Dan pihak kejaksaan tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan berbagai macam-macam korupsi. Orang yang dituduh korupsi disuruh membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, sehingga banyak sekali orang yang akan "diperas" karena dituduh melakukan korupsi”.

Selain itu penerapan asas pembuktian terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan pejabat tidak dibuat. Jadi sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan-kekayaan “haram” yang dia peroleh. Seharusnya disyaratkan laporan kekayaan pejabat sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga si pejabat bisa diinvestigasi .

C. Kesimpulan

Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya. Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena para pelaku tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi. Untuk memecahkan masalah sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi tersebut maka salah satu upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah melalui sarana penal yaitu dengan menerapkan pembuktian terbalik terhadap perkara-perkara korupsi.

Meskipun penerapan pembuktian terbalik ini bertentangan dengan azas presumption of innocent atau azas praduga tak bersalah yang telah diatur dalam KUHAP, namun demi tegaknya hukum di Indonesia dan sesuai dengan tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat banyak, maka hal tersebut dapat saja diterapkan terhadap perkara tindak pidana korupsi.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Bambang Poernomo, S.H., Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1984.
  2. Barda Nawawi Arif, Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan, Bahan Ceramah Diklat Aparatur Penegak Hukum, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Cinere, Jakarta, 2000.
  3. K. Wantjik Saleh, S.H., Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983.
  4. Luhut MP Pangaribuan, Sistem Pembuktian Terbalik, http://www.hukumonline.com/
  5. Ninik Mariyanti, S.H., Suatu Tinjauan tentang Usaha Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Editor Dr. Andi Hamzah, S.H., Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986.
  6. Topo Santoso, Pembuktian Terbalik Hanya Pengalihan Isu, http://www.hukumonline.com/
  7. Todung Mulia Lubis, Pembuktian Terbalik Tidak Mudah, http://www.hukumonline.com/
  8. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  9. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  10. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
  11. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
  12. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
print this page Print this page

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com